Traktorku

Selayang Pandang

Selayang Pandang
Kembangkan Pertanian Modern

Sketsa Hidup Arum Sabil

Dulu Memotret Kini Dipotret
Itulah yang sempat ditulis salah satu media mengenai sosok H.M. Muhammad Arum Sabil. Tentu tidak berlebihan, karena apabila dilihat dari perjalanan karirnya yang dulunya sebagai tukang foto keliling, kemudian garis Tuhan mengantarkannya menjadi pembela petani tebu melalui APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dan akhirnya menjadi anggota Dewan Gula Indonesia (DGI). Sebagai ketua APTRI, Arum menjadi figur sentral perlawanan petani tebu untuk menuntut kebijakan yang lebih baik dan sekaligus mengantarkannya menjadi tokoh IGN (Industri Gula Nasional).
Arum Sabil adalah putra dari pasangan Rokib (almarhum) dengan Sariati (Sariah). Lahir di Desa Manggisan, wilayah perkebunan Kalitengah, Kecamatan Tanggul, Jember, pada tanggal 20 Juni 1966. Ia dilahirkan dalam suasana pergolakan masyarakat ketika “pembersihan” sisa-sisa pengikut G30S PKI masih berlangsung di desanya. Sebagaimana dituturkan Ibu Sariati (Ibunda Muhammad Arum Sabil) kepada penulis, kelahiran Muhammad Arum Sabil diiringi sejumlah keanehan yang diyakininya sebagai pertanda bahwa bayi yang dilahirkannya itu akan memperoleh sejumlah kemuliaan dari Tuhan. Sejumlah keanehan tersebut dituturkan Sariati sebagai berikut:
“Selama mengandung Muhammad (Arum Sabil), Ibu kehilangan selera makan dan ketika usia kandungan mencapai 6 bulan 12 hari, terdapat peristiwa yang tidak bisa ibu lupakan. Pada saat itu, ibu pergi mencari rumput untuk pakan ternak. Namun betapa kagetnya ketika ibu melihat banyak orang yang disembelih (pembantaian pengikut G30S PKI). Melihat itu semua, perut ibu mual-mual dan akhirnya muntah-muntah, kemudian ibu terus berjalan berusaha menghindari mayat-mayat itu. Ketika mencari jalan keluar menghindari mayat-mayat itu, ibu melewati kubangan tempat yang biasanya dipakai orang untuk menimbun pisang. Anehnya, di dalam kubangan itu saya menemukan delapan butir telur dan satu butir lagi di atas kubangan, sehingga semuanya berjumlah sembilan butir telur. Di tengah rasa mual-mual dan panik melihat mayat-mayat itu, pada saat itu ibu berfikir bahwa telur berjumlah sembilan merupakan pertanda baik, karena wali juga berjumlah sembilan. Untuk mengusir rasa mual-mual, kemudian telur itu ibu makan. Anehnya lagi, sembilan telur itu habis ibu makan sekaligus. Lalu, Ibu bergegas pulang. Malam harinya, Ibu bermimpi melihat bulan dan Ibu berjalan ke arah barat sambil melepaskan jarit yang ibu pakai sebagai sabuk. Pagi menjelang subuh, bayi yang Ibu kandung selama 6 bulan 12 hari itu lahir dan kemudian dinamai Muhammad. Pada saat bersamaan, nenek Muhammad yang bernama Ibu Mahat juga bermimpi melihat lampu petromak di tempat Ibu tidur. Ibu Mahat berteriak pada Ibu: “Aduh nak, kamu diberi anugrah Allah. Anakmu itu anugrah Allah”. Saking se­nang­nya karena anak pertama Ibu telah lahir, Ibu ke­mu­dian berdoa semoga anak ini menjadi anak saleh, anak yang utama, menjadi pemimpin rumah tangga yang baik dan diberi keselamatan serta derajat oleh Allah SWT. Mu­hammad kemudian dirawat oleh neneknya, karena Ibu be­lum pengalaman merawat bayi. Sampai umur 3 bulan Mu­ham­mad tidak mau makan, minum, atau menyusui. Dia ha­nya makan air pepaya masak yang dilelehkan melalui mulut”.

Pada masa kecil, Arum tidak tumbuh dalam suasana berkecukupan. Hal itu bisa dimaklumi karena ia berasal dari keluarga buruh tani, sehingga masa kecilnya dihabiskan untuk bertarung melawan ganasnya kehidupan hanya agar bisa bertahan hidup (survival).
“Sebagai buruh tani, kedua orang tua saya hanya mengandalkan hidup dari upah mengerjakan sawah dan kebun orang lain. Tetapi toh kami tidak pernah merasa kekurangan, karena kami selalu berusaha menyesuaikan antara pendapatan dengan kebutuhan”.

Arum tampaknya ingat betul, ketika masih berumur 5-6 tahun, saat anak-anak seusianya menghabiskan keceriannya di sekolah, dia justru diajari leles, mencari nafkah dengan mengumpulkan sisa-sisa hasil panen yang terlewatkan oleh pemilik sawah (dalam istilah yang umum dipakai oleh buruh tani di Jawa, mengumpulkan sisa hasil panen yang tercecer disebut ngasak).
Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan itu membuat Arum harus berpindah-pindah tempat tinggal. Untuk mencari peluang ekonomi yang lebih baik, orang tua Arum sering berpindah tempat tinggal dan Arum pun juga harus mengikutinya. Menjelang usia 5 tahun, Arum menghabiskan masa kanak-kanaknya di Desa Manggisan, wilayah perkebunan Kalitengah di kaki Gunung Argopuro. Menginjak usia 5 tahun, Arum mengikuti orang tuanya pindah ke Perkebunan Zelandia (sekarang wilayah PTPN XII). Di Zelandia ini, ia mengenyam pendidikan sekolah TK, sebelum akhirnya mengikuti kepindahan orang tuanya ke Dusun Curahbira, Desa Manggisan, Kecamatan Tanggul.
Di Curahbira, Arum masuk sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Belum genap satu tahun menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah , Arum pun harus mengikuti orang tuanya pindah lagi ke Desa Patemon, Tanggul. Di desa ini, Arum masuk SDN Patemon dan kemudian pindah lagi dan masuk di SDN Tanggul Kulon IV yang dijalaninya hingga kelas 3 SD. Menginjak kelas IV, Arum pindah sekolah lagi dan masuk SDN Tanggul Wetan VI yang dijalaninya hingga lulus kelas VI pada tahun 1980.
Sampai kelas dua, Arum masih sepenuhnya mendapat biaya dari kedua orang tuanya. Itu pun nyaris terancam putus sekolah, ketika ia menginjak kelas 3. Kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan sebagai buruh tani tak sanggup lagi membiayai sekolahnya. Hanya karena keinginan mengenyam pendidikan yang begitu besar, Arum pun turun ke lapangan membantu orang tuanya mencari tambahan penghasilan. Sejak memasuki kelas 3 SD, Arum bersekolah sambil menjual kue-kue. Asalkan halal, pekerjaan apapun rela dilakukan, termasuk tak malu berjualan kue.
Sembari berangkat sekolah tiap pagi, kue dagangan dibawanya. tanpa rasa sungkan, waktu jam istirahat, kue itu dijajakan ke teman-teman sekolah. “Saat belajar kue saya taruh di meja lalu dijual ke teman-teman ketika istirahat. Ini terus saya lakukan hingga tamat SD.”
Keprihatinan masa kecil Arum ini juga diungkapkan Sariati.
“Ketika masih kecil, Muhammad (Arum) hidup dalam suasana prihatin. Sekolah tidak ada uang jajan, bahkan dia harus jualan ‘jemblem’ untuk membantu keluarga. Tapi sejak kecil, Muhammad memang terampil. Dia selalu membersihkan tempat tidur saya setiap dua hari, bahkan mencuci baju-baju saya”.

Setelah lulus SD tahun 1980, Arum kemudian melanjutkan sekolah ke SMP Bina di Tanggul Kulon, tentu saja dengan biaya mandiri. Pada saat duduk dibangku SMP, usahanya sudah berganti menjadi tukang foto keliling di luar jam sekolah.
“Modal kamera, saya peroleh dari seorang paman yang baru pulang bertugas di Timur Tengah. Kamera manual yang biasa-biasa saja. Tetapi pada masa itu, sebuah kamera pun sudah bisa dijadikan modal berusaha”.

Kemampuan memotret terus diasahnya. Dari modal kamera sederhana itu dan tuntutan untuk bisa melanjutkan sekolah, Arum banyak belajar menyiasati untuk bisa membuat banyak foto dari satu film dengan cara manahan jepretan dan menutup sisanya dengan kertas kemudian hasilnya dipotong. Menggunakan cara itu, ternyata Arum mendapat keuntungan dua kali lipat dari biasanya.
Melalui aktivitas memotret ini pula Arum banyak belajar filosofi hidup dari cara kerja sebuah potret. Untuk memperoleh hasil kerja yang bagus, pemotret harus memperhatikan angel (sudut pengambilan gambar), pencahayaan, diafragma dan assa. Ketika semua intrumen itu diramu dengan baik, maka akan menghasilkan jepretan yang baik. Begitu pula dalam kehidupan, untuk memperoleh prestasi hidup yang cemerlang, seseorang harus pandai-pandai memanfaatkan potensi dan peluang yang ada. Melalui aktivitas foto keliling, Arum banyak mengenal orang dan belajar bagaimana seseorang bisa sukses.
“Suatu ketika, saya bertemu dengan seorang juragan tanah yang memiliki lahan luas di sekitar kampus Universitas Jember. Saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana seorang buta huruf ini bisa menjadi konglomerat kelas kabupaten, hanya dari bisnis tanah. Belajar dari juragan tanah itulah, saya berkesimpulan, apapun pekerjaan seseorang jika dilakukan dengan tekun dan jujur, akan berhasil”.

Rupanya prinsip itulah yang memotivasi Arum untuk memanfaatkan peluang sekecil apapun dengan sungguh-sungguh. Permintaan demi permintaan dari teman dekat atau warga sekitar untuk melakukan pekerjaan pemotretan terus mengalir. Sekalipun jaraknya jauh, tak ada alasan bagi Arum menolak permintaan warga. Dengan modal kamera manual , Arum akhirnya mampu menuntaskan sekolah hingga tamat SMP. Dibangku SMP ini, bakat kepemimpinan Arum juga sudah mulai terlihat. Hal itu dibuktikan dengan terpilihnya dia menjadi ketua OSIS ketika masih duduk di kelas 1 dan terpilih kembali saat duduk di bangku kelas 2 dan 3.
Lahir dan besar di lingkungan masyarakat tani, ditambah kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan membuat Arum tak memiliki banyak pilihan hidup dan harus tahu diri untuk tidak bercita-cita muluk.
“Keinginan (cita-cita) saya sederhana, ingin menjadi sinder sebuah perkebunan besar. Naik kuda keliling mengontrol kebun, bergaul dengan petani, pakaian rapi ,dan mengenakan topi mandor, rasanya keren”.

Oleh karena itu, niatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi terus dirintisnya. Selepas lulus SMP, ia melanjutkan sekolah di SMU PGRI Tanggul. Sewaktu duduk di bangku SMA, Arum terbilang sebagai siswa yang rajin. Dengan keterbatasan me­nyerap pelajaran, ia tercatat sebagai aktivis pramuka paling aktif. Ketika duduk di SMA itulah Arum mengenal namanya cinta. Adalah Rasmiati, gadis asal Desa Rejoagung, yang telah merenggut hati Arum. Begitu besar pautan hati antarkeduanya, selepas SMA keduanya bertekad meneruskan tautan hati dalam ikatan suci perkawinan. Lantaran belum mempunyai pekerjaan tetap, keduanya memberanikan diri mengarungi bahtera rumah tangga. Hasil pernikahan itu kini telah dikarunia satu putra dan dua putri, yakni Fikri Andikaputra dan Rizky Ayuningati dan Sabirina Amalia Sabil.
Cita-cita Arum sejak kecil ingin menjadi sinder per­kebunan rupanya terus menggelora dalam hatinya. Maka ketika lulus SMA, Arum melamar kerja ke PTPN XXIII (kini PTPN XII). Hanya saja posisi yang tersedia baginya ketika itu adalah sebagai pengamat hama dan penyakit tanaman. “Tak jadi soal, saya anggap itu sebagai langkah awal ke posisi sinder”. Ketika itu, Arum hanya sempat bertahan selama setahun di posisinya dan memutuskan keluar dari perusahaan tersebut.
Merasa masa depanya tidak cukup terbuka luas dengan hanya meretas karir di perusahaan milik BUMN, Arum akhirnya bertekad mencoba hidup baru diperantauan. Sekalipun belum diketahui secara pasti akan kerja apa dan siapa yang akan dituju, dengan bondo nekat (bonek), pada tahun 1987, Arum hijrah ke Kalimantan dan mencoba keberuntungan di PT. HAS Farm, sebuah perusahaan perkebunan besar milik swasta dengan komoditas unggulan tanaman kakao dan karet.
Arum akhirnya diterima di PT itu dan memulai kerja sebagai tukang tebas/ babat alas (hutan). Di perusahaan inilah, Arum banyak me­nimba ilmu dan pengalaman. Karirnya terus menanjak. Se­telah melihat kinerja Arum, dua tahun kemudian, perusahaan memberinya posisi sebagai mandor besar, sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri pada tahun 1990 karena perusahaan merugi, untuk kemudian bergabung di PT. Barito Pacific Timber (1990-1992) milik Prayogo Pangestu, juragan kayu dari Singkawang.
“Setinggi-tingginya burung terbang, akhirnya jatuh ke pelimbahan jua”. Begitulah kata pepatah. Kerinduan dengan kampung halaman dan tanggung jawab untuk mendampingi sanak keluarga, membuat Arum, di penghujung tahun 1992 memutuskan untuk mengundurkan diri dari PT. Barito dan mudik ke Tanggul untuk menekuni pekerjaan sebagai petani tebu. Waktu itu, Arum hanya memegang prinsip, apapun pekerjaan seseorang asalkan halal, dilakukan dengan tekun dan jujur, maka akan berhasil. Tuntutan untuk mendampingi keluarga tidak bisa dibendung lagi. Terpaksa, pekerjaan di Kalimantan ditinggalkan. Arum pulang ke Desa Tanggul, Jember, Jawa Timur dan memulai usaha tani tebu sebagai pekerjaan barunya.
Pada awalnya, Arum memulai usaha tani tebu dengan modal awal lahan kebun seluas 0,5 hektare. Tentu saja usahanya mengalami pasang surut produksi. Namun pengalamannya sebagai pengamat hama dan penyakit tanaman di PTPN XXIII dan ilmu perkebunan yang diperolehnya selama bekerja di PT. HAS Farm, petani muda tersebut terus meraih kemajuan. Selain menekuni usaha tani yang tidak seberapa luas itu, Arum juga menekuni kembali profesinya sebagai tukang foto. Pada awalnya, Arum menunjukkan foto anaknya dari hasil jepretannya sendiri kepada seorang guru wali kelas di sekolah anaknya, sembari menawarkan untuk menjadi jasa tukang foto bagi siswa-siswa di kelasnya. Karena hasilnya dipandang bagus, Arum kemudian ditawari untuk memotret siswa satu sekolah untuk membuat foto rapot siswa di sekolah itu.
Seiring perjalanan waktu, Arum tidak hanya diberi order untuk membuat foto siswa dalam satu sekolah, akan tetapi juga dipercaya untuk membuat foto bagi siswa se-Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember. Dalam perkembangannya, hampir semua sekolah di Kabupaten Jember ditanganinya. Puncaknya ketika Arum diberi kepercayaan oleh Pemda Jember untuk melakukan pemotretan foto KTP (Kartu Tanda Penduduk), karena proyek pemotretan KTP sebelumnya mengalami kegagalan.
Pesanan foto KTP inilah yang membuat tabungan Arum semakin bertambah dan secara finansial semakin mandiri. Luas lahan garapan lahan tebu pun semakin bertambah, sebagian merupakan lahan milik sendiri yang dibelinya dari petani di lingkungannya, sebagian lagi memanfaatkan lahan tanah kas desa (TKD) di seputar wilayah Jember dengan sistem sewa.
“Kepala-kepala desa itu saya kenal sewaktu menjadi tukang foto keliling dan foto KTP. Mereka mau nolong saya. Kalau tidak kenal, kita susah dapat lahan sewa tanah kas desa itu, kecuali orang yang punya duit banyak”.

Berbekal ketrampilan, keuletan, jaringan, dan modal yang diperoleh dari jasa pemotretan itulah yang mengantarkan Arum menjadi petani tebu dengan kepemilikan lahan tebu lumayan luas.
Dalam perjalanannya sebagai petani, Arum merasakan bahwa petani tebu telah diperlakukan secara tidak adil. Pola hubungan antara petani tebu dan PG (Pabrik Gula) bukan dalam kerangka kemitraan, akan tetapi bersifat subordinat. Apalagi pada saat menjelang berakhirnya orde baru, pemerintah memberlakukan liberalisasi tata niaga gula. Dampaknya, gula impor membanjir dan memukul harga gula lokal, sehingga petani tebu dirugikan. Ketergantungan petani tebu kepada PG sangat besar ddan dampaknya merugikan petani tebu. Petani dalam posisi terjepit oleh kebijakan yang tidak berpihak serta pola hubungan yang subordinatif dengan PG.
“Pada saat itu, saya berfikir situasi ini tidak bisa dibiarkan. Maka saya berusaha berkomunikasi dengan para pejabat PG dan pemerintah daerah. Tapi hasilnya nihil, sementara petani kian hari semakin terjepit. Satu-satunya jalan, saya harus menyampaikan aspirasi petani tebu ini ke DPR”.

Dari rangkaian usaha itu telah menghantarkan kesadaran Arum bahwa perjuangan aspirasi petani tebu seperti dirinya tidak bisa dilakukan sendirian. Maka, bersama-sama tokoh petani tebu Jember, pada tahun 1997 membentuk tim petani tebu Jember yang pada saat itu Arum menjadi salah satu anggotanya.
Gagasan Arum untuk membangun kekuatan kelembagaan petani tebu terus berlanjut. Pada pertengahan tahun 1998, Arum mengusulkan pembentukan Paguyuban Petani Tebu Rakyat (PPTR) di wilayah PG Semboro, Jember, Jawa Timur. Ditetapkan H. Rofik sebagai ketua umum dan Arum (yang masih tergolong junior dalam masalah pertebuan) ditunjuk sebagai pembantu umum.
Pembentukan PPTR di wilayah PG Semboro itu mengundang apresiasi positif Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Jawa Timur yang menyarankan agar membentuk PPTR atau Asosiasi Petani tebu Rakyat (APTR) pada masing-masing PG. Maka, pada akhir tahun 1998 itu pula, atas fasilitasi Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terbentuklah PPTR dan APTR di setiap PG. Usaha itu dilakukan untuk membangun kesetaraan antara petani tebu dengan PG, baik pihak manajemen maupun pemilik PG. Pembangunan kekuatan kelembagaan petani tebu itu salah satu tujuannya untuk menegaskan bahwa petani tidak berada di bawah PG. Melainkan sejajar sesuai peran dan fungsinya sebagai wujud demokratisasi di industri pergulaan.
Namun, usaha membentuk kekuatan kelembagaan petani tebu ini tidak serta merta mengantarkan aspirasi petani tebu memperoleh respon kebijakan yang memadahi. Pada tahun 1998, dampak penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah RI dengan IMF mulai terasa. Indonesia memasuki liberalisasi perdagangan secara radikal yang memukul eksistensi gula lokal, sehingga petani tebu terpuruk.
Arum berfikir bahwa masalah ini tidak cukup diselesaikan pada tingkat PG atau pemerintah lokal. Maka, DPR dianggapnya sebagai wahana paling tepat untuk menyampaikan aspirasi. Berangkatlah Arum sendirian ke Jakarta untuk mengadukan masalah nasib petani tebu yang kemudian dikenal dengan istilah “demonstrasi solo” Arum Sabil. Kisah tentang “demonstrasi solo” yang mengawali kiprah Arum memasuki arena perjuangan petani tebu dalam lingkup lebih luas, dikupas dalam Bab I.
Demonstrasi solo itu akhirnya membuka kesadaran Arum bahwa untuk perjuangan petani tebu perlu dibentuk kekuatan kelembagaan petani yang bisa berbicara dalam forum yang lebih luas. Maka Arum menggagas pembentukan APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat) Wilayah Kerja (Wilker) PTPN XI. Tujuannya agar para petani memiliki wadah untuk bargaining pada tingkat provinsi.
Tanpa diduga, pada pertemuan PPTR se-Wilker PTPN XI di PG Semboro pada pertengahan tahun 1999, Arum yang statusnya menjadi pembantu umum di PPTR Semboro itu terpilih sebagai ketua APTR PTPN XI.
“Anugerah demonstrasi solo itu menjadikan saya dikenal banyak pihak. Sehingga pada saat pencalonan ketua APTR yang mestinya masing-masing PPTR atau APTR unit mengusulkan satu calon, untuk PPTR Semboro diberi kesempatan mengusulkan dua calon, salah satunya saya. Tanpa diduga, saya justru dipilih menjadi ketua APTR Wilker PTPN XI”.
Pada level nasional, eksistensi gerakan Arum dibentuk oleh konsistensinya dalam berpihak kepada petani tebu dan sikap kehati-hatiannya untuk tidak mengulang kegagalan Orde Baru dalam membangun kekuatan organisasi petani.Tampaknya Arum sadar bahwa kegagalan organisasi petani pada era Orde Baru disebabkan oleh kepengurusan organisasi petani yang tidak merepresentasikan petani, di mana organisasi petani yang pengurusnya masih jauh dari anggota dan hanya bekerja untuk kepentinganya sendiri. Dalam hal ini Arum sering melontarkan kritiknya sebagai berikut.
“Saya tidak ingin organisasi petani ada hanya ketika diselenggarakan munas dan umumnya berakhir dengan rebutan kursi kepemimpinan puncak. Saya tidak ingin organisasi petani ada ketika sedang ada pemilu legislatif, pemilihan presiden, pemilihan gubernur atau pemilihan bupati. Saya menginginkan organisasi petani yang kuat, yang pengurusnya mampu membela dan menjadi payung serta memperjuangkan hak-hak petani agar kebijakan berpihak dan melindunginya. Bukan pula organisasi petani yang pengurusnya melacurkan diri dan menjadikan organisasi petani sebagai kendaraan politik untuk meraih kepentingan pribadi.”

Arum Sabil juga tidak mampu menyembunyikan keheranannya ketika muncul trend mantan pejabat yang tiba-tiba profesinya berubah menjadi petani dan secepat kilat menduduki kepemimpinan puncak organisasi petani.
“Saya tidak habis mengerti kenapa banyak muncul trend perubahan profesi menjadi petani. Ada orang yang kemarin menjadi anggota dewan, pejabat atau politisi, namun tiba-tiba hari ini mengaku sebagai petani dan secepat kilat pula memimpin organisasi petani. Saya sering merenung, ini organisasi petani atau organisasi kumpulan mantan pejabat? Mungkin mereka mengetahui permasalahan yang dihadapi petani, akan tetapi apa mereka bisa merasakan permasalahan apa yang petani sedang rasakan? Berubah profesi menjadi petani harus kita sambut baik jika dibarengi etikad kuat menjadi petani dan secara sungguh-sungguh memajukan usaha pertanian di negeri ini. Yang perlu kita waspadai adalah ketika trend itu dilakukan untuk mempolitisasi petani demi kepentingan pribadi.Organisasi petani seharusnya dipimpin o­rang-orang yang bisa merasakan permasalahan yang sedang membelit petani, bukan hanya orang-orang yang sekedar tahu permasalahan yang dihadapi petani”.

Oleh karena itu, mudah dipahami ketika sikap Arum di satu sisi sangat menginginkan adanya sebuah kekuatan kelembagaan petani tebu secara nasional, sisi lainnya semaksimal mungkin berusaha menghindari terulangnya kegagalan organisasi petani tebu pada era Orde Baru yang dibentuk melalui upaya-upaya kooptatif. Begitu pula ketika pada tahun 2000 diselenggarakan munas petani tebu di Surakarta atas fasilitasi Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Arum bersama APTR Wilker PTPN XI melakukan walk out sebagai bentuk penolakan terhadap usaha-usaha yang dinilainya mengarah pada usaha-usaha kooptasi kepada petani tebu tersebut.
Pada saat itu, Arum bersama APTR Wilker PTPN XI menolak pembentukan kepengurusan organisasi petani tebu yang sentralistis yang diketuai seorang ketua umum. Ia mengusulkan, Badan Koordinasi Asosiasi Petani tebu Rakyat Indonesia (BK-APTRI) diketuai secara bergiliran oleh para ketua APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat), sedangkan dalam operasional sehari-hari di tunjuk pengurus harian.
Usulan ini kandas dan APTR Wilker PTPN XI memilih mandiri sehingga tidak bergabung dalam koordinasi BK-APTRI. Alasannya, aspirasi APTR Wilker PTPN XI, tidak bisa dipandang remeh, karena memiliki 17 PG di Jawa Timur yang memiliki pabrik gula dan jumlah petani paling besar dibanding PTPN lain. Keberadaan APTR Wilker PTPN XI dengan dukungan ratusan ribu hingga jutaan petani tebu di Jawa Timur, seiring perjalanan waktu semakin kuat. Belakangan, institusi ini mampu menyetarakan diri dengan kalangan pedagang besar dalam fungsinya sebagai investor penyedia dana talangan. Sehingga antara petani dan pembeli bisa mematok harga gula yang disepakati bersama-sama dengan titik tolak harga pokok produksi (HPP). Konsepsi dana talangan dengan sistem harga dasar mengam­bang yang dikerjasamakan dengan investor itu merupakan kon­sep penjaminan agar petani tidak rugi ketika harga jatuh.
Di bawah nahkoda Arum, APTR Wilker PTPN XI berhasil diwujudkan sebagai sebuah kekuatan yang mampu memberi tekanan kepada pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang protektif dan berpihak kepada petani tebu. Sebagai contoh adalah lahirnya SK Menperindag Nomor 643 Tahun 2002 mengenai tata niaga gula impor, SK Menperindag Nomor 61 Tahun 2004 mengenai pelarangan perdagangan gula antarpulau, SK Gubernur Jatim mengenai pelarangan pembongkaran gula impor di wilayah perairan Jatim. Terbitnya sejumlah regulasi yang memberikan perlindungan kepada petani tebu itu sedikit banyak disokong oleh desakan gerakan petani tebu yang dimotori Arum.
Keberhasilan APTR Wilker PTPN XI menjadikan Arum semakin dipercaya sebagai tokoh perjuangan petani tebu. Sehingga pada tanggal 11 Maret 2003, atas inisatif PPTR dan APTR unit, dibentuklah APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dan Arum terpilih sebagai ketua. APTRI itu dibentuk atas aspirasi petani tebu sebagai sarana perjuangan petani tebu dalam skala nasional. Keanggotaannya juga terbuka bagi para petani tebu se-Indonesia. Melalui APTRI itu, kiprah Arum sebagai simbol perlawanan petani tebu semakin nyata.
Tampaknya memang sudah menjadi garis Tuhan, jika Arum anak seorang buruh tani dalam perjalanannya dipercaya menjadi ujung tombak perlawanan petani tebu. Perlawanan terhadap praktik im­­por gula ilegal, penyelundupan gula, usulan pembatasan impor, dan keharusan aparat untuk menindak tegas importer nakal terus di­­kumandangkan. Maka tidak keliru apabila Arum dikatakan sebagai tokoh sentral dalam usaha membangkitkan IGN (industri Gula Nasional), sekaligus membangun kejayaan petani tebu. Popularitas dan jangkauan akses yang dimiliki Arum semakin meningkat dari waktu ke waktu. Mulai dari kalangan swas­­ta, legislatif, dan eksekutif yang berskala regional maupun nasio­nal. Namun, itu semua tidak menjadikan Arum bagaikan kacang lupa pada kulitnya.
“Saya lahir dan besar, berkat dukungan sepenuhnya dari petani serta masyarakat kelas bawah. Bagaimana mungkin saya bisa jauh dari mereka. Tanpa mereka, saya bukan apa-apa. Karenanya, seluruh perjuangan saya di sektor pertanian dan perkebunan akan saya persembahkan dan lakukan bersama-sama demi petani dan masyarakat kecil di sekeliling saya. InsyaAllah, saya akan konsisten. Saya memahami, anugrah Tuhan untuk bisa memimpin perjuangan petani tebu ini merupakan amanah”.

Arum sadar kepercayaan itu mahal. Untuk itu, tak terbersit sedikitpun akan menyia-yiakan kepercayaan petani tebu yang telah diamanahkan kepadanya. Lebih jauh, Arum sempat mengungkapkan betapa mahalnya sebuah kepercayaan. Arum mencontohkan, seorang calon anggota DPR harus mengeluarkan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah hanya untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat. “Oleh karena itu, amanah ratusan ribu bahkan jutaan petani tebu yang dibebankan kepada saya, tidak akan saya cederai,” begitulah Arum menegaskan ulang komitmennya.
Ungkapan itu bukan komitmen retoris. Sebagai bukti, rumah Arum terbuka lebar bagi siapa pun. Entah itu dari kalangan petani, masyarakat kecil, maupun tukang becak, anak yatim maupun anggota masyarakat lainnya. Berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar, Arum dikenal sangat peduli kepada rakyat kecil. Setiap tiga bulan sekali Arum mengeluarkan zakat mal maupun sodaqoh kepada ribuan masyarakat kecil di lingkungannya, khususnya untuk para tukang becak dan anak-yatim.
Ketika ditanya seputar kemungkinan terjun dalam dunia politik, Arum walaupun memiliki jaringan petani yang luas, secara tegas masih akan melanjutkan perjuangan bersama petani.
“Saya belum berfikir ke arah itu. Negeri ini bisa sejahtera jika petaninya sejahtera dulu. Jika menjadi petani itu sejahtera, minat masyarakat untuk bekerja di sektor ini akan meningkat. Mereka akan memilih jadi petani ketimbang tenaga kerja industri. Jika sudah demikian, orang baru akan mau menjadi buruh industri jika bayarannya setara dengan tingkat kesejahteraan petani. Harga tenaga kerja kita akan menjadi lebih baik. Tidak ada lagi keluarga miskin”.

Arum mengingatkan, Indonesia masih negara agraris dengan lebih dari 60 persen masyarakatnya adalah petani. Karenanya, logis jika sektor ini yang harus diprioritaskan. Boleh-boleh saja mengembangkan industri, tetapi akan jauh lebih baik jika industri tersebut adalah industri yang berbasis sektor pertanian. Arum memang sosok fenomenal bagi perjuangan rakyat kecil dan tak seorang pun menyangka jika lelaki asal Jalan Tanjung IA, Tanggul, Jember ini pada akhirnya menjadi tokoh nasional dalam kancah pergulaan. Namanya meroket dan menghiasi berbagai media cetak maupun elektronika baik lokal maupun nasional. Hal itu tidak lepas dari konsistensi, semangat, gairah, keberanian, dan komitmennya dalam memperjuangkan nasib petani tebu.
Rupanya, kerasnya tekanan hidup semasa kecil benar-benar dijadikan pelajaran sehingga membentuk karakter pribadinya sebagai pembela kaum tertindas. Orang tuanya sudah mengajari Arum bagaimana agar bisa bertahan hidup dalam himpitan kemelaratan. Beranjak dari pengalaman hidup itulah yang justru menghantarkan Arum menemui kesuksesan. Walaupun kini Arum sudah mapan, itu semua tidak sampai mengurangi keberpihakannya kepada para petani tebu.
Pada suatu kesempatan, penulis sempat menanyakan seputar nama Muhammad Arum Sabil. Penulis mencoba mereka-reka, mungkin saja kuatnya komitmen Arum berpihak pada petani tebu juga tidak lepas dari harapan dan doa orang tuanya. Sebagaimana kita ketahui, orang-orang tua di Jawa memberi nama kepada anaknya tidak lepas dari adanya suatu harapan. Nama bukan sekadar label untuk mudah dikenali, akan tetapi juga merupakan kristalisasi dan pancaran harapan orang tua, agar penyandang nama itu sesuai harapannya.
“Nama kecil saya Muhammad. Itu nama asli yang diberikan orang tua kepada saya. Mungkin saja orang tua berharap agar saya bisa menauladani Nabi Muhammad SAW. Setelah Ayah wafat, saya ikut paman. Ketika membantu paman bekerja di ladang, paman memanggil-manggil saya dengan panggilan, “Ar-rum, Ar-rum, Ar-rum”. Sapaan “Ar-rum” ini yang mengingatkan saya pada salah satu surat dalam Al-Qur’an Ar-Ruum. Maka semenjak itu nama saya dikenal dengan Muhammad Arum”.

Lalu dari mana asal nama Sabil?
“Waktu itu saya menunaikan ibadah haji. Saya bersama-sama dengan jamaah yang lain sering mengambilkan jatah sabilan (makanan bungkusan yang disediakan untuk jamaah). Ndak tahu bagaimana ceritanya, orang-orang banyak yang memanggil saya dengan sebutan pak Sabil. Akhirnya nama saya bertambah panjang menjadi Muhammad Arum Sabil”.

Untuk menelusuri sosok Arum Sabil, penulis juga sempat bertemu dengan seorang pimpinan pondok pesantren ternama di Jember, tepatnya KH. Muhammad Syawqi Abdul Chalim Shiddiq, pimpinan Pondok Pesantren Ashidiqi Putri Jember, yang juga menaruh perhatian pada perjuangan Arum Sabil. Beliau berusaha mengurai nama Arum Sabil.
“Muhammad artinya terpuji, Arum adalah maksud, dan Sa­bil adalah jalan. Kira-kira kalau diartikan bahwa o­rang yang dilekati nama itu diharapkan memiliki maksud atau keinginan berjalan secara terpuji”.

Diskripsi itu tentu saja sejalan dengan kiprah Arum selama ini yang senantiasa committed dalam memperjuangkan petani tebu yang sedang tertindas. Sebuah pilihan jalan hidup yang tentu saja terpuji dan sangat mulia. Maka, atas jerih payahnya itu, kini tidak hanya berhasil mengangkat dirinya dari kubangan keterjepitan hidup, namun juga demi sedikit mampu mengangkat saaudara-saaudaranya dalam hal ini petani tebu yang lain untuk bangkit dari keterjepitan. Wajar apabila kalangan luas menjadi appreciate (menghargai) jerih payah Arum, di mana setelah kamera bututnya masuk ‘museum‘, kini giliran Arum yang jadi fokus bidikan kamera wartawan. Arum tidak lagi mencari titik fokus lensa, dan bersusah payah menyiasati agar satu filmnya menjadi dua foto. Malah kini ia menjadi incaran para fotografer dari berbagai media cetak dan elektronik dalam meneriaki para bandit-bandit pergulaan.


***

Kamis, 29 Mei 2008

Arum Sabil

Dulu Memotret, Kini Dipotret
(Anak Buruh Tani yang Kini Memimpin Perjuangan Petani Tebu)